Jumat, Juli 11, 2014

[Resensi Novel dan Film] The Fault In Our Stars by John Green

Posted by tuslia on 7/11/2014 11:45:00 PM with No comments

Judul: The Fault in Our Stars: Salahkan Bintang-Bintang
Penulis: John Green
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penyunting: Prisca Primasari
Proofreader: Yunni Yuliana M.
Desainer Sampul: BLUEgarden
Penerbit: Qanita (PT Mizan Pustaka)
Cetakan II, April 2013
Beli di Gramedia, Margonda
Harga 49k

Cover Belakang

Mengidap kanker pada umur 16 tahun pastilah terasa sebagai nasib sial, seolah bintang-bintang serta takdirlah yang patut disalahkan. Itulah yang dialami oleh Hazel Grace. Sudah begitu, ibunya terus memaksanya bergabung dengan kelompok penyemangat penderita kanker. Padahal, Hazel malas sekali.
Tapi, kelompok itu toh tak buruk-buruk amat. Di sana ada pasien bernama Augustus Waters. Cowok cakep, pintar, yang naksir Hazel dan menawarinya pergi ke Amsterdam untuk bertemu penulis pujaannya. Bersama Augustus, Hazel mendapatkan pengalaman yang sangat menarik dan tak terlupakan.
Tetap saja, rasa nyeri selalu menuntut untuk dirasakan, seperti halnya kepedihan. Bisakah Augustus dan Hazel tetap optimistis menghadapi penyakit mereka, meskipun waktu yang mereka miliki semakin sedikit setiap harinya?
Novel ini membawa kita ke dunia para karakternya, yang sanggup menghadapi kesulitan dengan humor-humor dan kecerdasan. Di balik semua itu, terdapat renungan mengenai berharganya hidup dan bagaimana kita harus melewatinya


Berawal baca review seorang teman dan melihat rating di Goodreads yang luar biasa, bahkan mendekati sempurna, saya pun langsung bergegas membelinya di toko buku. Saya sangat penasaran dengan "hal" yang membuat buku ini mendapat begitu banyak bintang dan pujian. Apakah karena judulnya terdapat kata "bintang"? Oke, itu konyol... #selfkeplak.



John Green menggunakan sudut pandang orang pertama, tokoh Hazel Grace sebagai pencerita. Dari paragraf pertama saja, saya sudah sangat menyukai penokohan Hazel Grace. Membaca paragraf selanjutnya membuat saya jatuh cinta kepadanya. Meskipun mengidap kanker tiroid yang menyebabkan paru-parunya membutuhkan alat bantu pernapasan pada sisa hidupnya, dia tetap bersemangat karena tidak ingin hidup dari belas kasihan orang lain yang selalu dia sebut dengan Keistimewaan Kanker. Hazel Grace sangat cerdas, terlihat dari cara dia berpikir dan berbicara. Meskipun memang cenderung sinis dan sarkas, tetap saja semua yang dia ucapkan berbobot.

Hal itulah yang membuat Augustus, seorang penderita kanker lainnya (yang sudah dinyatakan bebas kanker oleh dokter, meskipun harus kehilangan salah satu kakinya dan menggunakan kaki palsu) jatuh cinta kepada Hazel. Augustus seorang yang periang dan selalu berpikiran positif, ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah terlupakan. Augustus membuat kehidupan Hazel lebih sempurna. Awalnya, Hazel tidak suka bergaul, dengan adanya Augustus, dia lebih banyak melihat dunia luar. Bahkan Augustus membuat Hazel dapat pergi menemui penulis idolanya di Amsterdam.


Meskipun Augustus sudah berbuat banyak, Hazel sempat menolak membalas cinta tersebut karena dia takut akan menjadi bom waktu bagi sekitarnya. Bagaimana pun, dia sadar bahwa penyakitnya tidak dapat diduga, sewaktu-waktu ia bisa saja sekarat dan akhirnya meninggal. Tentunya hal itu akan membuat orang-orang sekelilingnya akan menjadi hancur berantakan. Namun, pada akhirnya, rasa cintanya semakin besar kepada Augustus sehingga membuatnya menerima cinta itu.

Namun sayang, ketika rasa bahagia itu memuncak, kita seringkali lupa bahwa rasa bahagia itu akan berkurang secara perlahan, sesuai kodratnya, bumi berputar, perpisahan tak terelakan lagi. Kanker merenggut kebahagiaan mereka.

Sungguh, cerita ini di luar ekspektasi saya. Belajar dari kesalahan, saya tidak mau berekspektasi lebih pada suatu karya meskipun orang-orang menganggapnya luar biasa. Karena biasanya, saya sudah telanjur berekspektasi lebih, eh ternyata bagi saya pribadi karya tersebut biasa saja. Berbeda dengan novel ini, saya berekspektasi biasa saja, menikmatinya dengan membaca kata demi kata, agak terlalu lama bahkan untuk menyelesaikan novel ini. Tapi, saya sangat puas dengan hasilnya. Baru kali ini saya sesugukkan membaca sebuah cerita sepanjang berpuluh halaman pada bagian mendekati ending. Sesugukkan yang saya rasakan bagai kehilangan seseorang yang saya cintai. Saya terhanyut di dalamnya dan saya justru sangat menikmatinya, tidak ingin ditolong. *bener-bener merasa sesak di dada* Jalan ceritanya pun sangat tidak terduga. Jauh meleset dari perkiraan. *elap air mata*

Pada akhirnya, saya menutup novel ini dengan senyum dan berkata, "Novel ini layak diberikan 5 bintang!" Sempurna!!!


FILM THE FAULT IN OUR STARS

Tentu saja, sebagai penikmat novelnya, saya sangat penasaran dengan audio visual dari novelnya. Ternyata.... tetep ya, adegan hampir ending sampai benar-benar film berakhir, membuat saya menangis sesugukkan. Hahaha Pas sekali pada bagian adegan yang sama, yaitu adegan prapemakaman... (kayaknya nggak bisa saya ceritakan deh, soalnya jadinya spoiler... jadi basi deh nanti).

Itu kalau dari segi ceritanya. Kalau dari segi pemainnya gimana? Dari awal melihat trailer-nya, saya sih sudah bilang bahwa pemain Hazel Grace dan Augustus Waters tidak sesuai gambaran yang saya tangkap dari deskripsi novelnya. Selama membaca, saya membayangkan Hazel dan Augustus tidak sebesar itu, hahaha Saya membayangkan Hazel dan Augustus secara fisik lebih kecil, yah seperti Issac, teman Augustus lah ya... Agak mengganggu sih, tapi saya paksakan ubah mindset supaya dapat menikmati jalan ceritanya. :D


Trus, dalam novel, Hazel selalu merasa dirinya jelek dengan kepala terlalu besar karena efek obat yang diminumnya, tapi pada filmnya, gambaran saya meleset lagi. Tapi... di luar bayangan, ternyata Augustus lebih ganteng daripada gambaran saya. Benar juga komentar teman Hazel Grace di novel bahwa Augustus itu pria berkaki satu yang terseksi. hahaha Tapi jujur, ketika penyakit kanker Augustus kembali muncul, sosok Augustus yang tadinya terlihat keren dan cowok banget kok ya jadi agak banci ya ekspresinya. Tapi tetep kok, saya menikmati. :p


Intinya, novel dan filmnya sama-sama bagus, sama-sama membuat saya menangis, tepat di adegan yang sama. Meskipun ada beberapa adegan yang tidak dimasukkan pada film, tetap kok sesuai dengan cerita pada novelnya. Setidaknya, nggak membuat saya kecewa lah ya karena saking bedanya. So, saya berikan bintang lima juga deh untuk filmnya.

Tapi, bagi yang nggak suka drama romantis, sedih, leye-leye, jangan nonton ya... Dipastikan akan tertidur. Kenapa? Karena memang konfliknya terasa agak datar. Begitupun dalam novel. Cuma bedanya, cara berceritanya bikin saya menarik membaca sampai akhir, meskipun awal-awal berkonflik datar. Kalau film? Untunglah saya mengerti alurnya, jadi ya sangat menikmati karena tahu bahwa cerita film itu bagus. :D




Categories:

0 komentar:

Posting Komentar