Tugu Jogja (Yogyes.com) |
Oke, sebelum membahas segala sesuatu tentang Yogya, saya ingin bertanya nih, sejak tadi kan saya menulis Yogya tuh, nah menurut kalian bener nggak sih Yogyakarta? Atau yang benar Jogjakarta?
Yak....
Kalau menurut saya yang benar itu ya Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari singkatan DIY yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. Nah, itu penjelasannya. Nggak usah panjang lebar tapi cukup mudah diingat bukan? (penting nggak? enggak ya? Ya udah, anggap aja penting :D)
Yak....
Kalau menurut saya yang benar itu ya Yogyakarta. Hal ini dapat dilihat dari singkatan DIY yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta. Nah, itu penjelasannya. Nggak usah panjang lebar tapi cukup mudah diingat bukan? (penting nggak? enggak ya? Ya udah, anggap aja penting :D)
Lanjuuut....
Jadi, selama sebulan saya ngapain aja di sana??? Nggak ngapa-ngapain, cuma nyusahin kakak ipar dan kenalan di sana karena pada dasarnya saya anak manja yang harus selalu ditemani ke mana pun pergi. Maksudnya? Iya, selama sebulan di sana, saya hanya berdiam diri di kos sambil cari-cari kerjaan secara online dan menunggu kepulangan sang kakak ipar. Setelah itu, baru deh saya dan kakak ipar keluar mencari makan. Jika sang kakak ipar sibuk, saya akan meminta tolong kenalan saya yang berkuliah di UNY untuk mengantar saya jalan-jalan. Untung dia punya motor, jadi ke mana-mana mudah.
Kenapa saya bilang, "untung dia punya motor?" Ya, jika mau bepergian nyaman dan ingin menikmati Yogya sepuasnya tanpa ingat waktu, kalian harus mempunyai atau menyewa kendaraan pribadi. Hari gini mengandalkan angkutan umum di Yogya? Alhasil kalian nggak akan bisa ke mana-mana setelah magrib. Jangankan magrib, jam 5 saja, angkutan umum sudah sangat jarang. Kalau kalian sering ke Yogya tapi nggak pernah jalan-jalan di malam hari, tandanya kalian nggak pernah bener-bener "merasakan" Yogya. Yogya di kala malam itu indah banget... Apalagi Malioboro dan Alkid (alun-alun kidul).
Taman Sari (YogYes.com) |
Oia, ada surga untuk kaum hawa yang suka banget belanja selain Malioboro, yaitu Pasar Beringharjo. Kalau mengerti bahasa Jawa, apalagi Jawa halus, bisa nawar dengan harga semurah-murahnya, terlebih kualitasnya oke punya. Sayang sih, saat itu saya belum bekerja, masih mengandalkan uang kiriman orang tua jadi belanjanya diirit-irit. huhu
Selain itu, ada rumah makan yang harus dicicipi oleh para pelancong. Ini sih sudah bisa disebut restoran karena memang tempatnya luas dan pelayannya berseragam, meskipun begitu harganya terjangkau dengan porsi yang mengenyangkan deh. Yang punya restoran ini adalah seorang pria tapi berkebaya dan berkonde. Nah, udah ketebak belum? Yak, resto semi kafe itu bernama House of Raminten... Eh, bener nggak ya namanya... agak-agak lupa. Kalau salah dikoreksi ya. hehe
Lihat kan, mereka berhenti bahkan jauh dari zebra cross |
Masih berhubungan dengan tata tertib. Tau helm kan? Benda keras seperti topi dengan bentuk dan harga beraneka ragam. Nah, mungkin bagi penduduk Jakarta, helm adalah benda paling langka berada di atas kepala sebelum ada peraturan wajib memakai helm SNI. Bener nggak? Sejak diberlakukannya kewajiban memakai helm, baru deh helm bukan benda langka lagi. Jadi, helm digunakan karena takut ditilang, bukan demi keselamatan. Tapi di Yogya... Beuh... Jangankan di jalan raya, di jalan tikus atau jalan kecil aja mereka tetap menggunakan helm.
Pernah seseorang bercerita pada saya. Dia bilang, dia mempunyai teman, kita sebut saja dengan si A. Nah A ini pindahan dari Yogya. Pas awal dia pindah, mungkin karena kebiasaan di Yogya, jarak dekat saja, tidak keluar komplek perumahan, dia menggunakan helm. Tapi semenjak jadi bahan tertawaan teman-temannya di Jakarta, akhirnya dia terbiasa tidak menggunakan helm. Duh, pergaulan Jakarta sungguh berdampak negatif rupanya... Oke, intermezzo, balik ke Yogya...
Terus, di Yogya kan ada semacam kelompok grup musik yang bermain alat musik di trotoar pinggir jalan dekat lampu merah, tapi hal itu sama sekali tidak mengganggu lalu lintas. Mereka bermain tertib, hanya satu orang yang berkeliling di jalan ketika lampu merah, tapi sama sekali nggak bikin macet. Malah menambah nilai budaya, kan mereka memainkan alat musik daerah beserta tarian dan nyanyian Jawa. Lha di Jakarta? Bukan banci yang ngamen aja para cowo udah sujud sukur... haha
Yah, begitulah pengalaman saya tinggal di Yogya, andai saja Jakarta bisa seperti Yogya? Wah, betah banget. Sayang sih cuma sebulan, padahal rencana awal, saya ingin bekerja di sana, tapi apa daya, musibah meletusnya Gunung Merapi akhir tahun 2010 membuat orang tua saya khawatir dan meminta saya kembali ke Jakarta. Eh tapi, liburan awal tahun 2012 saya kan ke Semarang, nah mampir deh ke Yogya. Sayangnya nggak mampir ke Maliorobo tapi lanjut terus sampai melewati Gunung Kidul, tepatnya ke pantai... pantai apa ya, saya lupa... Duh... beginilah saya... sungguh pelupa... T.T
Oke, sekian dan terima komentar. Jika ada informasi yang salah, tolong dikoreksi di kolom komentar ya teman-teman... terima kasih :)
Apa nama pantainya?? -___-" Di Gunung Kidul banyak pantai, cuuy..haha...
BalasHapusKapan2 main ke Gunung Kidul lagi yuk, nginep d rumah mbah gw.. :D
huwaa gw lupa nama pantainya, bukan Pantai Sepanjang pokoknya. Setelah Pantai Sepanjang masih ke sana lagi. haha
BalasHapusLagian komentarin Yogya-nya dong, ini malah pantainya. haha