Sabtu, April 13, 2013

[Resensi Novel] Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa by Prisca Primasari

Posted by tuslia on 4/13/2013 08:30:00 PM with No comments

Judul : Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa
Penulis : Prisca Primasari
Editor: eNHa
Proofreader: Gita Romadhona
Penerbit : GagasMedia
Cover: Dwi Annisa Anindhika
Tebal Buku: 291 halaman
Cetakan Pertama : 2012
Harga: 45k di TMBookStore, Detos (Disc 10%)

Ketika melihat judul novel ini, saya membayangkan sebuah cerita dari negeri dongeng, terlebih lagi warna sampul buku dengan biru muda yang terkesan lembut. Pada sampul terdapat gambar bunga, salju, dan istana. Hal tersebut membuat saya membayangkan cerita dongeng seperti Cinderella.

Setelah membacanya, ternyata memang ada unsur dongengnya, yaitu kisah Snegurocha, seorang gadis salju yang tahan hanya pada musim dingin. Seorang gadis yang membiarkan dirinya meleleh karena mencintai manusia. 

Namun, bukan Snegurocha yang menjadi tokoh dalam cerita ini. Snegurocha hanya kisah yang diselipkan. Cerita sesungguhnya hanyalah terfokus pada kisah cinta antara Vinter dan Florence yang ide awalnya sangat sederhana, cenderung klise, tetapi tentu saja, cerita ini menjadi menarik ketika Prisca Primasari menambahkan pengetahuan tentang dunia seni, musik klasik, dan teaternya sehingga cerita terasa lebih elegan dan berkelas.

sumber foto: di sini
Mengenai sinopsis, haduh gimana ya? Tadi kan saya sudah bilang kalau cerita ini klise, nanti kalau saya tulis sinopsisnya, novel ini jadi kurang menarik untuk dibaca, padahal menurut saya buku ini bagus karena si penulis tidak sekadar bercerita, dia juga menggambarkan dunia seni secara detail. Pokoknya wajib baca deh bagi yang suka novel yang tidak sekadar romance.

Awalnya, saya sempat heran dengan penulisan judul yang ditulis dengan huruf kecil semua. Padahal seharusnya setiap kata di awali dengan huruf kapital, kecuali kata hubung dan kata depan. Ternyata, judul tersebut merupakan bagian dari kalimat yang terdapat di salah satu bab yang mendeskripsikan perasaan cinta tokoh Vinter dan Florence. Ah, rasanya ingin meleleh karena kehangatan cinta mereka. *oke, ini lebai :p 

Jujur, saya sangat menyukai novel sejenis ini, tetapi baru kali ini saya baca novel Indonesia yang sarat dengan seni. Terlebih bahasanya seperti novel terjemahan. Itulah kelebihan novel ini dengan novel Indonesia lainnya. Namun, saya merasa, penokohan dan penggambaran kebudayaan dalam novel ini cenderung setengah-setengah.

Penokohan Florence saya rasa masih kurang jelas. Pada awal cerita, saya mengira Florence adalah seorang gadis yang masih berumur belasan tahun. Perkiraan ini saya simpulkan ketika melihat pemikiran dan tindakan Florence yang kabur saat ingin dijodohkan. Ketika saya lihat bagian dari sudut pandang Vinter, saya baru tahu bahwa Florence berusia 28 tahun. Saya sempat heran dengan kenyataan itu karena sejak awal saya membayangkan Florence yang baru berusia tak lebih dari 25 tahun (setelah mengetahui ia sudah bekerja). Apalagi dengan kenyataan ia kabur dari perjodohan. Kenapa harus kabur? Bukankah usianya sudah bisa dikatakan matang dan dewasa? Seharusnya, sebagai seorang perempuan yang berusia 28 tahun, ia bisa memberikan penjelasan kepada orang tuanya, tidak lari dari masalah seperti itu. 

sumber foto: di sini
Kemudian, awalnya, saya kira ada peristiwa penting yang membuat Florence tidak bisa melupakan mantan pacarnya yang bernama Jean-Michel itu. Ternyata, hal yang melatarbelakanginya tidak seperti yang saya bayangkan. Rasanya terlalu berlebihan mempermasalahkan keperawanan, mengingat lokasi cerita ini adalah Perancis. Bukankah tidak perawan lagi merupakan hal yang biasa di sana? Lalu mengapa Florence begitu memikirkannya? Berbeda jika setting yang digunakan adalah Indonesia. Jika di Indonesia, penggambaran tokoh wanita yang tidak bisa melupakan mantan pacarnya yang telah memperlakukannya di luar batas sangat wajar, tapi di Perancis? Ya mungkin saya terlalu mengeneralisasi kebudayaan "barat", padahal mungkin saja masih banyak perempuan yang tidak menganut pergaulan bebas seperti itu di sana.

Meskipun begitu, saya tetap menyukai cerita novel ini karena nilai seni di dalamnya. Pengetahuan saya jadi bertambah. Apalagi sisi romantisnya membuat saya senyum-senyum sendiri, seperti kembali pada masa muda saja. *eh tapi saya nggak tua-tua amat kok* Ya, sepertinya saya layak memberikan empat dari lima bintang untuk novel ini. :D 

Ini novel pertama karya Prisca Primasari yang saya baca. Sepertinya saya ketagihan dan menginginkan novel-novel karya Prisca lainnya ada di rak buku saya. ;)

Catatan Kosakata Baru

Saya ingin membahas penulisan dan kosakata yang menarik perhatian saya. Awalnya, saya sempat heran dengan penulisan judul yang ditulis dengan huruf kecil semua. Padahal seharusnya setiap kata di awali dengan huruf kapital, kecuali kata hubung dan kata depan. Ternyata, judul tersebut merupakan bagian dari kalimat yang terdapat di salah satu bab yang mendeskripsikan perasaan cinta tokoh Vinter dan Florence.

"Selanjutnya, mereka memandang air mancur itu dalam diam, berharap detik dan menit ini tidak akan berakhir. Saat mereka duduk berdampingan dalam galeri bagaikan kastil es... dengan deretan air mancur yang berdansa...." (KE: 168)

Romantis... Ah, rasanya ingin meleleh karena kehangatan cinta mereka. *oke, ini lebai :p

Saya juga tertarik mengkaji penggunaan kata “kalem” dan penulisan kata hubung “di” yang dipasangkan dengan “hari” sehingga menjadi “di hari”, pemenggalan kata dengan menggunakan tanda hubung (-) dalam kata “Flo-rence” dan “anti-olahraga”. Ada juga beberapa kosakata yang menarik perhatian saya seperti kata “berpaving”, “kandelar”, “gerumbul”, dan “karusel”.

Kalem, di hari, dan berpaving
“Salju yang turun dengan kalem menyentuh jalanan berpaving, membentuk gundukan sana-sini, memberi sepuhan cerah di hari mendung itu.” (KE: 17)

Dari kutipan tersebut, dapat dilihat penggunaan kata kalem. Dalam KBBI versi smartphone android saya, kalem adalah kata cakapan yang berarti “dalam keadaan tergesa-gesa; tenang; santai. Penulis, Prisca Primasari, seringkali menggunakan kata “kalem” sebagai penggambaran salju yang turun perlahan dari langit. Jujur saja, saya merasa terganggu dengan hal itu. Rasanya kok tidak pas. Apalagi setelah mengetahui bahwa kata “kalem” merupakan kata cakapan yang menandakan kata tersebut bukan kata baku, sangat kontras dengan kata lainnya yang tersusun secara baku pada seluruh halaman cerita, bukan?

Jalanan berpaving
(sumber: di sini)
Lalu penggunaan kata depan “di” pada frasa “di hari”. Seperti yang tertulis pada KBBI, di p 1 kata depan untuk menandai tempat, 2 cak kata depan untuk menandai waktu. Dari pengertian yang terdapat pada KBBI, penggunaan frasa “di hari” bisa dilihat dari makna kedua. Namun, makna kedua itu merupakan kata cakapan. Lagi-lagi penggunaan kata tidak baku, padahal kata lainnya tersusun dengan sangat indah menggunakan kata baku. Sayang sekali...

Masalah yang ketiga adalah kata “berpaving”. Bukan masalah yang besar. Hanya ingin memastikan apakah “paving” sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia atau belum, ternyata setelah dicek di KBBI, kata “paving” tidak ditemukan. Namun, setelah search image di Google, saya jadi tahu bentuk jalanan “berpaving” yang dimaksud oleh si penulis. :p


Kandelar
"... Patung-patung dengan berbagai bentuk terletak di empat sudut, dan kandelar megah tergantung di langit-langit." (KE: 28)

(sumber di sini)
Kandelar merupakan kosakata baru yang saya baca. Tapi saya menduga semacam hiasan karena "tergantung di langit-langit". Saya pun mengeceknya di Google dan pendapat saya tidak sepenuhnya salah karena ternyata kandelar itu adalah tempat lilin melingkar. Yah, jangan dibayangkan tempat lilin yang kita dapatkan sebagai souvenir pernikahan, kandelar lebih terlihat berseni dan berkelas. Ada juga yang menyatakan bahwa kandelar semacam lampu hias besar yang biasanya digantung di ruang tamu.

Gerumbul
"... Gerumbul cemara berjejer dengan untaian lampu warna-warni. ..." KE: 112
Nah, kata "gerumbul" ini masih belum saya temukan pada KBBI maupun di Google, tapi mungkin maksud penulis untuk menggambarkan ujung pohon cemara yang notabene berbentuk oval dengan daun-daun yang lebat.

Karusel
"Mereka berdansa memutari taman, bergerak teratur sesuai irama musik. Florence tertawa ketika Vinter sedikit mengangkatnya dan berputar bagaikan karusel." (KE: 142)
(sumber: di sini)
Awalnya sempat sangat bingung dengan kata "karusel" lalu googling dan melihat gambar semacam komidi putar. Lalu, saya kembali melihat konteks kalimatnya. Oh, kira-kira karusel itu adalah alat/mesin pemutar, dalam konteks ini putaran melingkar yang menjadikan Vinter sebagai poros atau memang di Perancis sebutan untuk komidi putar adalah karusel? Hmm, bisa jadi... he-he

Penggunaan Tanda Hubung (-) dalam Kata Flo-rence dan Anti-olahraga
"Celine bilang belakangan ini Florence tampak kuyu dan tidak bahagia, seperti lampu konslet. Flo-rence sangat anti-olahraga, tidak suka olahraga, dan sudah berjanji seumur hidup tidak ingin olahraga, kecuali bila dokter memaksanya untuk melakukannya. ..." (KE: 182)
Penggunaan tanda hubung dalam nama sangat aneh. Bagaimana mungkin sebuah nama bisa dipenggal, meskipun dalam novel ini memang digunakan karena pemenggalan batas baris. Namun, tetap saja salah. Bahkan pemenggalan kata yang benar berdasarkan kata dasar. Misalnya kata "memakan", kita boleh memenggalnya sebagai "me-makan" untuk pergantian baris, tidak boleh "mema-kan" karena kita tidak boleh memenggal kata dasar "makan". Bukankah begitu? Apalagi sebuah nama yang tidak ada kata dasarnya. Penggunaan kata hubung pada "anti-olahraga" juga salah karena kata "anti-" adalah bentuk terikat yang penggunaannya sama dengan imbuhan. Jadi, tanda hubung tidak diperlukan pada kata tersebut, langsung saja menuliskannya dengan "antiolahraga".

Mungkin ini bisa dijadikan bahan pengeditan untuk cetakan selanjutnya... Eh tapi proofreadernya adalah senior saya di IKSI. Maaf Kak Gita, saya sok tahu gini... *ampuuun*
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar