Minggu, Juni 23, 2013

[Resensi Novel] Montase by Windry Ramadhina

Posted by tuslia on 6/23/2013 02:27:00 PM with No comments

Judul: Montase (kau di antara seribu sakura)
Penulis: Windry Ramadhina
Editor: Ayuning & Gita Romadhona
Proofreader: Christian Simamora
Penata letak: Dian Novitasari
Desain sampul: Jeffri Fernando
Penerbit: GagasMedia
Beli di TMBookStore, Detos
Harga 49k (disc 10%)


Cover Belakang
Aku berharap tak pernah bertemu denganmu.

Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku.

Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.
Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu.
Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.

Tapi...,
kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa.
Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai...
dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.
Rayyi, seorang pria penggila film dokumenter, terpaksa harus mengambil peminatan produksi di IKJ karena sebagai anak tunggal, ia dituntut sebagai penerus ayahnya yang memiliki rumah produksi. Rayyi merasa film-film komersial yang biasanya diproduksi ayahnya itu hanyalah sampah, sedangkan film dokumenter isinya sangat jujur, manusiawi, dan tentunya bermakna. Namun, ia tetap menjalankan peran sebagai anak yang penurut walaupun lebih mementingkan segala kegiatannya yang berkaitan dengan film dokumenter. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Haru, seorang gadis asal Jepang, yang menarik perhatiannya karena Haru mengalahkannya pada sebuah festival film. 
Awalnya, dia berpendapat bahwa Haru sosok yang aneh karena keceriaannya, tingkah lakunya yang ceroboh, dan cara berpakaiannya. Namun, lambat laun, Rayyi malah dekat dengannya dan tanpa sengaja membuat Haru masuk ke dalam lingkaran gengnya. Hal ini semakin membuat Rayyi mengenal Haru dan perasaan itu berubah jadi cinta. Berkat kedekatannya dengan Haru, ia menyadari bahwa ia harus memperjuangkan cita-cita dan keinginannya.

Empat dari lima bintang untuk novel kedua karya Mbak Windry yang saya baca setelah Memori.

Salut deh dengan Mba Windry karena beliau selalu menyuguhkan cerita yang berbobot. Menurut saya, novel ini dirangkai dengan kisah yang "wajar". Segala kejadian yang menimpa tokoh tidak selalu berjalan sempurna & tidak pula selalu berakhir musibah, percintaan tokohnya pun tidak terlalu diumbar kepada pembaca, dan para tokoh tidak digambarkan memiliki kesempurnaan seperti pada novel-novel cinta kebanyakan. Saya merasa "pas" dengan suguhan yang ada. :-)

Pada novel ini, Mbak Windry menggambarkan mahasiswa yang dikelilingi dunia perfilman, khususnya film dokumenter. Tidak setengah-setengah, dunia perfilman tersebut digambarkan dengan sangat baik, tidak terkesan "asal tempel" atau hanya sekadar "pemanis" tanpa penjabaran lengkap tentang dunia perfilman tersebut. Maksudnya adalah saya sebagai pembaca bahkan sampai "curiga" bahwa Mbak Windry memang salah satu mahasiswa atau lulusan IKJ karena pada novel ini setting, konflik, penokohan sangat detail seolah-olah penulis memang berasal dari dunia tersebut. Padahal, jelas-jelas Mbak Windry seorang arsitek. he-he (terlihat sekali pengetahuan tentang dunia arsiteknya pada novel Memori).

Singkatnya, saya menjadi kaya informasi karena banyak hal yang baru saya ketahui setelah membaca karya-karya Mbak Windry. Inilah yang saya maksud dengan "berbobot".

Sedikit pengalaman yang berhubungan dengan novel ini. Beberapa teman sudah meminjam dan membacanya, ada dua orang yang saya paling ingat komentarnya. Yang pertama, tidak suka karena terdapat  dunia perfilman, khususnya film dokumenter. Teman saya ini tidak menyukai film dokumenter sehingga dia pun jadi tidak menyukai segala jenis atau segala hal yang "berbau" film dokumenter. Sayang sekali, padahal jika saja dia bertahan membacanya, dia akan membaca sebuah karya yang hebat. Lalu, teman saya yang kedua, sebelum mengembalikannya, dia berkata, "Aku balikinnya nanti dulu ya, aku mau baca lagi, bagus banget. Aku sampe niat beli saking bagusnya," katanya sambil memeluk novel ini. Rasanya senang jika buku yang kita miliki dapat bermakna seperti itu. :D

Hmm, saya belum membaca Orange dan Metropolis karya beliau nih... Tapi saya rasa, jika saya membacanya, saya akan menyukainya seperti saya menyukai Memori dan Montase ini. :-D
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar